Ketika Pesantren Menjadi Simbol: Antara Syiar dan Ambisi
Di tengah bangkitnya kesadaran umat terhadap pentingnya pendidikan agama, pesantren menjadi simbol religius yang mentereng. Tak sedikit orang bermimpi besar: ingin membangun pesantren megah, dengan ribuan santri, fasilitas lengkap, dan pengaruh sosial yang luas. Keinginan itu tentu tak salah—bahkan bisa menjadi ladang pahala yang sangat besar.
Namun, di balik mimpi besar itu, ada bahaya tersembunyi yang harus diwaspadai: yakni ketika niat menyimpang dari ridha Allah, dan menjelma menjadi ambisi pribadi yang dibungkus jubah agama.
🕌 Pesantren: Simbol Keagungan, atau Ajang Pencitraan?
Mendirikan pesantren adalah amal luar biasa. Ia bisa menjadi warisan keilmuan, tempat pembinaan akhlak, serta benteng keimanan generasi muda. Tapi amal sebesar apapun, jika tidak dibarengi dengan niat yang lurus, bisa berbalik menjadi musibah ruhani yang menyakitkan.
Di zaman media dan pasar bebas ini, tidak sedikit pesantren yang dibangun dan dikelola seperti perusahaan: penuh strategi pemasaran, branding, promosi, dan target-target material.
- Brosur dicetak dengan desain profesional.
- Poster kegiatan dipenuhi jargon-jargon mewah.
- Promosi menonjolkan “jumlah santri”, “lulusan luar negeri”, “bangunan megah”, atau “fasilitas hotel bintang lima”.
Ini semua boleh dilakukan, selama niatnya tetap murni. Tapi jika tidak hati-hati, agama bisa tergelincir menjadi komoditas, dan pesantren berubah menjadi “produk spiritual” untuk kepentingan nama pribadi atau keluarga.
💰 Ketika Amal Jadi Jalan Menuju Status
Celakanya, ada yang membangun pesantren bukan karena cinta pada dakwah, tapi karena:
- Ingin dipandang tokoh agama,
- Ingin menjadi pusat perhatian umat,
- Ingin menaikkan status sosial dan ekonomi.
Pesantren pun dijadikan jalan untuk membangun merek pribadi, bukan membangun umat. Bahkan, ada yang mempertahankan pesantrennya bukan karena ingin berkhidmat kepada Allah, tetapi karena takut kehilangan pamor dan kekayaan yang telah diraih dari “industri agama”.
Padahal Rasulullah ﷺ bersabda dengan tegas:
“Barangsiapa menuntut ilmu (agama) untuk menyaingi ulama, atau untuk berdebat dengan orang bodoh, atau untuk menarik perhatian manusia, maka ia di neraka.”
(HR. Tirmidzi, hasan)
📣 Syiar dan Pemasaran: Beda Tipis, Hati yang Menentukan
Memang di zaman modern ini, promosi pesantren menjadi bagian dari strategi dakwah. Tak ada yang salah dengan menggunakan media sosial, desain menarik, atau pendekatan visual untuk menarik perhatian masyarakat.
Namun bedanya terletak pada niat dan orientasi hati:
- Apakah promosi itu untuk menyebarkan cahaya ilmu, atau untuk mengangkat nama pribadi?
- Apakah poster-poster itu dibuat karena semangat dakwah, atau karena semangat memperkuat citra?
Jika yang dicari adalah kemaslahatan umat, maka semua itu berpahala. Tapi jika yang dicari adalah pengaruh, kekuasaan, atau pengakuan, maka semua itu bisa tak bernilai di sisi Tuhan.
🧭 Menjaga Niat di Tengah Popularitas Amal
Amal besar rentan dengan ujian besar. Dan salah satu ujian terberat adalah ketika amal itu mulai membawa keuntungan duniawi: harta, pujian, panggung, dan pengaruh.
Maka, langkah bijak untuk menyikapi fenomena ini adalah:
- Periksa ulang niat sebelum, saat, dan setelah beramal.
Tanyakan: “Apakah ini untuk Allah, atau untuk nama saya?” - Jangan berbangga dengan santri yang banyak, tapi takutlah akan tanggung jawab yang besar.
Ribuan santri bukan prestise, tapi amanah. - Promosikan pesantren dengan adab dan kesadaran ruhani.
Jangan jadikan brosur lebih penting dari substansi pendidikan. - Jaga kesederhanaan jiwa di tengah kemegahan fisik.
Pesantren boleh megah, tapi pemimpinnya harus tetap rendah hati. - Didik masyarakat untuk melihat ruh pesantren, bukan hanya kulitnya.
Bukan soal marmer atau AC, tapi soal akhlak dan ilmu yang diajarkan.
🌌 Penutup: Jangan Sampai Amal Kita Menjadi Debu
Membangun pesantren adalah amal jariyah besar. Tapi amal besar akan menjadi debu yang beterbangan jika niatnya salah.
“Sesungguhnya Allah tidak menerima suatu amal kecuali yang dikerjakan dengan ikhlas dan mencari wajah-Nya.”
(HR. Nasai)
Berhati-hatilah! Jangan sampai pesantren, simbol keagungan Islam, malah menjadi kendaraan ego pribadi. Jangan sampai syiar berubah menjadi citra. Jangan sampai amal besar menjadi bumerang di akhirat.
Karena pada akhirnya, Allah tidak menilai banyaknya bangunan, jumlah santri, atau ramainya brosur, tapi hati yang lurus dan niat yang murni.
By: Andik Irawan